Laras menatap layar laptopnya dengan nanar. Angka-angka di laporan keuangan bulan ini seolah menari-nari mengejeknya. Kafenya, “Sudut Senja”, yang ia rintis dengan susah payah setahun lalu, sedang tidak baik-baik saja. Pemasukan stagnan, sementara pengeluaran terus membengkak. Kalau begini terus, bisa-bisa ia harus gulung tikar sebelum ulang tahun kafe yang kedua.
“Butuh keajaiban,” gumamnya sambil memijat pelipis. Keajaiban itu kalau bisa datang dalam bentuk investor tampan, kaya raya, dan baik hati yang tiba-tiba jatuh cinta pada konsep kafenya… atau pada pemiliknya sekalian. Lamunan Laras buyar ketika pintu kafe terbuka, menimbulkan bunyi lonceng kecil yang merdu.
Seorang pria jangkung melangkah masuk. Jaket kulit cokelat, kemeja putih kasual yang lengannya digulung rapi, dan celana jeans gelap. Rambutnya agak berantakan—tapi jenis berantakan yang disengaja dan terlihat keren. Wajahnya? Oh, jangan ditanya. Rahangnya tegas, hidungnya mancung, dan matanya… Laras menahan napas. Matanya seteduh kopi susu gula aren kesukaannya.
Oke, Laras, fokus! Dia pelanggan, batinnya, berusaha mengenyahkan pikiran tentang pangeran berkuda putih yang baru saja mampir ke kafenya.
Pria itu berjalan menuju konter, senyum tipis tersungging di bibirnya saat matanya menyapu interior kafe yang didominasi kayu dan tanaman hias. “Permisi,” sapanya. Suaranya dalam dan… merdu? Laras merasa pipinya menghangat.
“Ya? Selamat datang di Sudut Senja. Mau pesan apa?” Laras berusaha terdengar profesional, padahal jantungnya sudah seperti genderang mau perang.
“Saya lihat menu online, katanya spaghetti aglio olio di sini juara?” tanyanya, menaikkan sebelah alis.
“Ah, iya! Itu salah satu best seller kami,” jawab Laras bangga, sedikit melupakan masalah keuangan kafenya. “Pedasnya mau level berapa?”
“Level paling menantang,” jawab pria itu dengan senyum miring yang entah kenapa membuat Laras makin gugup.
“Oke, spaghetti aglio olio level menantang satu. Minumnya?”
“Es Kopi Susu Gula Aren.”
Dia bahkan memesan minuman favoritku! Jodoh? Laras menggeleng cepat, mengusir pikiran konyol itu. “Baik. Silakan duduk dulu, nanti saya antar pesanannya.”
Pria itu mengangguk dan memilih meja di sudut dekat jendela, tempat favorit Laras sebenarnya. Ia mengeluarkan laptop dari tasnya, tampak serius bekerja.
Laras segera menuju dapur kecilnya, meracik pesanan dengan semangat baru. Ia bahkan menambahkan sedikit topping udang ekstra ke spageti pria itu. Anggap saja bonus selamat datang, pikirnya.
Namun, dewi fortuna sepertinya sedang tidak berpihak pada Laras hari ini. Saat membawa nampan berisi spageti super pedas dan es kopi susu menuju meja si pria tampan, kakinya tersandung kabel laptopnya sendiri yang menjuntai sembarangan di lantai.
BRUK! PRANG!
Detik berikutnya, Laras sudah terduduk di lantai, dikelilingi pecahan piring dan spageti yang berhamburan. Lebih parahnya lagi, es kopi susu gula aren itu sukses mendarat dengan sempurna di kemeja putih bersih si pria tampan.
Pria itu terlonjak kaget, menatap noda cokelat besar di kemejanya dengan ekspresi tak percaya. Beberapa pelanggan lain menoleh kaget. Laras ingin sekali menggali lubang dan mengubur dirinya hidup-hidup.
“Ma-maaf! Saya sungguh minta maaf!” Laras tergagap, berusaha bangkit sambil menahan malu yang luar biasa. Wajahnya pasti sudah semerah udang rebus sekarang.
Pria itu menghela napas panjang, lalu—di luar dugaan Laras—ia malah tertawa kecil. “Wow. Ini… benar-benar ‘menantang’,” ujarnya, menunjuk noda di kemejanya.
Laras hanya bisa melongo. Dia tidak marah?
“Tidak apa-apa,” lanjut pria itu, mengambil beberapa lembar tisu dari meja. “Kemeja bisa dicuci. Tapi spagetinya… sayang sekali.” Ia menatap tumpukan spageti di lantai dengan tatapan sedih yang dibuat-buat.
Laras merasa sedikit lega sekaligus makin malu. “Saya akan buatkan yang baru! Dan kopi susunya juga! Gratis, tentu saja! Sebagai permintaan maaf!”
Pria itu tersenyum lagi, kali ini senyum yang lebih lebar dan tulus. “Terima kasih. Tapi mungkin lain kali level pedasnya diturunkan sedikit? Saya tidak yakin jantung saya kuat menahan kejutan seperti ini lagi.”
Laras ikut tersenyum kikuk. “Pasti. Sekali lagi maafkan saya, Mas…”
“Bara,” pria itu menyela, mengulurkan tangannya yang tidak terkena noda kopi.
Laras menjabat tangan itu. Hangat dan kokoh. “Laras.”
“Senang bertemu denganmu, Laras. Meskipun dalam kondisi… basah seperti ini,” kata Bara, melirik kemejanya lagi.
Di tengah kekacauan spageti dan kopi susu, Laras merasa ada sesuatu yang berbeda. Mungkin ini bukan keajaiban investor tampan yang ia harapkan, tapi pertemuan ini terasa seperti awal dari sesuatu. Sesuatu yang… menarik. Dan mungkin sedikit lengket karena kopi susu.
Konten ini dilindungi hak cipta. Dilarang menyalin atau mendistribusikan tanpa izin.
Apr 4, 2025
Novel Roman Komedi
Singkat, Komedi, Romansa, Setia, Dag Dig Dug
11